Share tentang bagamana cara berinvestasi yang baik dan benar

Saturday, April 28, 2018

Menganalisa Obligasi Syariah di Indonesia

Obligasi adalah Salah satu instrumen investasi yang dikenal dipasar modal selama ini adalah obligasi. Model investasi ini didenifisikan sebagai surat berharga jangka panjang yang bersifat utang dan dikeluarkan oleh emiten dengan kewajiban membayar bunga untuk periode tertentu dan melunasi pokoknya pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.
Praktiknya berbasis utang dan bunga yang identik dengan riba sehingga diperlukan modal investasi yang saling menguntungkan dan sejalan dengan prinsip syari;ah.
Dalam konsep ekonomi Islam, obligasi merupakan salah satu instrument investasi, transaksi/ akadnya sesuai dengan sistem pembiayaan dan pendanaan dalam perbankan syariah, dengan tujuan untuk menerima kebutuhan produksi, yakni dengan adanya keperluan penambahan modalnya mengadakan rehabilitasi perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru dengan ciri-ciri untuk pengadaan barang-barang modal, mempunyai perencanaan lokasi dana yang matang dan tertata, serta mempunyai jangka waktu menengah dan panjang.
Sementara itu Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan “Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”[2] Merujuk pada Fatwa DSN tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan obligasi syariah ini menggunakan akad antara lain: akad musyarakah, mudarabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
FATWA  TENTANG OBLIGASI SYARIÁH (MUDHARABAH)
            Ketentuan umum
  • Obligasi syariáh adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarka prinsip syariáh yang dikeluarkan emiten untuk membaaaaaaaaayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariáh berupa bagi hasil/ margin/feeserta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  • Obligasi syariáh mudharabah adalah obligasi syariáh yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa dewan syariáh nasional MUI NO. 7/DSN-MUI/1V/2000 tentang pembiayaan mudharabah.
  • Emiten dalam obligasi syariáh mudharah adalah mudharib sedangkan pemegang obligasi syariáh mudharabah adalah shahibul mal.
  • Ketentuan khusus
  • Akad yang digunakan dalam obligasi syariáh mudharabah adalah aakad mudharabah.
  • Jenis usaha yang dilakukan emiten (mudharib)tidak boleh bertentangan dengan syariáh dengan memperhatiakn substansi fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/1V/2001 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksa dana sayariáh.
  • Pendapat (hasil) investasi yang dibagikan emiten (mudharib)kepada pemegang obligasi syariáh mudharabah (shahibul maal)harus bersih dari unsure nono halal.
  • Nisbah keuntungan dalam obligasi syariáh mudharabah ditentukan sesuai keepakatan, sebelum emisi (penerbitan) obligasi syariáh mudharabah.
  • Pembagian pendapatan (hasil) dapat di lakukan secara periodic sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
  • Pengawasan aspek syariáh di lakukan oleh dewan syariáh nasional MUI, sejak proses emisi obligasi syariáh mudharabah dimulai.
  • Apa bila emiten (mudharib) lalai dana/ atau melaanggar ssyarat perjanjian dab/ atau melampaui batas, mudharibprinsip mudharabah dalam invrsatasi sebagai mana di jelaskan oleh ibnu qudamah dalam al-mughni (v/135) dengan mengutip keterangan ibnul mundzir dalam al-ijma, al kasani dalam bada-i.
Karakteristik Obligasi Syariah.
           Obligasi syariah memiliki beberapa karakteristik yaitu:
  • Obligasi syariah menekankan pendapatan investasi bukan berdasar kepada tingkat bunga (kupon) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat pendapatan dalam obligasi syariah berdasar kepada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati oleh pihak emiten dan investor.
  • dalam sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak Wali Amanat maka mekanisme obligasi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (di bawah Majelis Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip kehati-hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syariah diharapkan bisa lebih terjamin.
  • jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsur non halal.
Secara umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah sebagai berikut yaitu:
  • Obligasi syariah haruslah berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi hasil atau revenue sharingserta pembayaran utang pokok pada saat jatuh tempo.
  • Obligasi syariah mudharabahyang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsur non halal.
  • Nisbah(rasio bagi hasil) harus ditentuakan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi tersebut.
  • Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodic atau sesuai ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan.
  • Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh DSN MUI.
  • Apabila perusahaan penerbit obigasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
  • Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji maka pihak investor dapat menarik dananya.
  • Hak kepemilikan obligasi syariah mudharabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.
Jenis-jenisObligasi Syariahadalah sebagai berikut:              
  • Obligasi syari;ah mudharabah.
Obligasi syariáh mudharabah ialah yang mengunakan akad mudharabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal/investor) dengan pengelola (mudharib/emiten). Ikatan atau akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib/emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri.
 Al-hadits
            2.1 rawayat al-thabrani dari ibn abbas ra.:
            “abbas bin abdul mutthalib jika menyerehkan harta sebagi mudharabah ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menurunni lembah, serta tidak membeli hewan ternaak. Jika persyaratan itu di langgar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyartan yang di tetapkan abbas itu di dengar rasulullah, beliau membolehkannya.
            2.2 riwayat ibnu majah dari shuhaib.
            “ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqharadhah (mudharabah), dan mencampur gandum halus dengan gandum kasar (jerawat) untuk keperluan rumah tanggam bukan untuk di jual.”
           2.3 riwayat Al-tirmidzi dari ámr bin’auf:
            “perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terkait dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharakan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
           2.4 riwayat ibnu majah  , Al-Daraquthni dan yang lain dari abu sa’id Al-khudri:
            “seseorang tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
           2.5 riwayat abu dawud dan Al-tirmidzi:
            “nabi saw. Menyerahkan satu dinar kepada hakim bin hizam untuk membeli hewan kurban.”
  • Obligasi syariáh ijarah.
Obligasi ijarah ialah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
           
Al-hadits
            2.1 hadits qudsi riwayat muslim dari abu hurairah.
“allah swt. Berfirman: ada tiga kelompok yang aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu tidak membayarkan upahnya.”
           2.2 riwayat tirmidzi dari amr bin auf:
Perjanjian boleh di lakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan hukum muslimin terikat dengan-dengan syarat mereka, kecuali syarta yang mengharamkan yang halal atau menghalkan yang haram.”
Kaidah fikih.
  • pendapat para ulam, antara lain imam Al-syairazi, Al-muhadzdzab (kitab al-ijarah):
“boleh melakukan akad sewa-menyewa (ijarah0 terhadap manfaat yang dibolehkan, karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat.:
  • kebutuhan orang mendorong adanya akad sewa- menyewa (ijarah)sebab tidak semua orang memiliki kendaraan, tempat, tinggal, dan pelayanan (pekerja). Karena itu, ijarah di bolehkan sebagaimana di bolehkan juga menjual benda (imam Al-nawawi dalam Al-majmu’syarah Al-muhadzdzab, Al-syarbini dalam mughni Al-muhtaj, Al-dimyathi dalam l’anah Al-thalibin)
  • jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang di sewa kepada pihak lain sebelumbenda itu di terima, maka mengenai ke bolehan (kedua) tersebur terdapat 3 pendapat (imam al-nawawi dalam Al-majmu’syarah Al-muhadzdzah)
  • tidak boleh sebagaimana halnya benda yang di beli, artinya, tidak boleh menjual benda yang di beli sebelum di terima. Sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (bai’) sebagaimana keterangan dahulu.
  • Penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah) karena objek ijarah adalah manfaat sedangkan manfaat tidak di pandang telah di terima hanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan benda yang di sewakannya. Karena itu, penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat
  • Boleh hukunya menyewakan benda yang di sewa tersebut kepada pemberi sewa (pertama), karena benda itu benda pada tangannya, namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain) karena benda itu tidak berda pada tangannya.
  • jika seseorang menyewa rumah, took, atau suatu tempat, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, di tempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya.ia penyewa boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut.
  • Diriwayatkan dari imam malik bahwa wakil tidak boleh membeli sesuatu untuk dirinya. Dengan demikian, Nampak jelas bahwa ulama mazhab hanafi secara mutlak tidak membolehkan wakil melakukan penjualan untuk (kepada) diri sendiri. Sementara itu, jumhur, (mayoritas ulama) tidak membolehkan cara penjualan tersebut, kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan penjualan tersebut, kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan.

No comments:

Post a Comment

>