Dinamika bursa Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi dapat menjadi indikator pendahulu (leading indicator) potensi gejolak finansial. Pergerakan tingkat imbal hasil (yield) obligasi dan selisih yield (yield spread) merupakan indikator yang memiliki informasi mengenai penurunan aktivitas ekonomi dimasa mendatang (Estrella & Trubin, 2006).
Dalam konteks Indonesia, sebelum gejolak finansial di 2008 dan di semester dua 2013, Indeks Harga SUN sudah mengalami koreksi masing-masing sejak Juli 2007 dan Januari 2013. Kontras dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang terus rally dan mencapai titik tertinggi sesaat sebelum gejolak finansial terjadi, yaitu di Januari 2008 dan Mei 2013.
Gejolak finansial belum tentu akan menyebabkan krisis di sektor riil. Tetapi, gejolak finansial potensial menghambat pertumbuhan ekonomi.
Namun saat ini pasar obligasi global mengalami anomali yang mengindikasikan investor sangat spekulatif dan tidak rasional.
Anomali pertama, yield obligasi Treasury negara maju menjadi negatif. Banyak obligasi di negara maju, seperti Jerman, Jepang, dan Francis memiliki yield dibawah nol, atau negatif, sejak tahun 2015. Pada puncaknya, total sekitar US$ 12 Triliun Treasury negara maju memiliki yield negatif pada Juni 2016 (Bloomberg, 3 Oktober 2016). Membeli obligasi dengan yield negatif berarti investor sudah pasti rugi saat obligasi jatuh tempo. Jadi investor hanya membeli obligasi dengan harapan dapat menjual untung dari kenaikan harga, yang berarti yield semakin negatif. Dalam sejarah bursa obligasi dunia, yield negatif tidak pernah terjadi sebelumnya. Investor yang membeli obligasi dengan yield negatif sepertinya tidak mempertimbangkan keamanan berinvestasi.
Anomali kedua, Yunani sebagai negara yang memiliki beban utang sangat tinggi, mencapai 180% dari Produk Domestik Bruto (PDB), memiliki yield SUN 10-tahun yang sangat rendah, yaitu sekitar 5,1%. Padahal di awal 2012 yield SUN Yunani mencapai 34%. De facto, Yunani sudah bangkrut dan tidak akan mampu membayar hutangnya sampai kapan pun. Ekonomi Yunani masih bertahan hanya karena bantuan dari negara-negara Eropa.
Ada argumen bahwa Amerika dan Jepang juga memiliki beban utang pemerintah yang sangat besar, masing-masing mencapai 105% dan 235% PDB-nya. Bedanya, kedua negara maju tersebut menjual utangnya dalam mata uang sendiri, mayoritas dibeli oleh investor domestik (95% di Jepang) atau mata uangnya menjadi mata uang dunia (seperti Amerika), dan memiliki sektor swasta yang sangat produktif. Sedangkan Yunani, pemerintahnya bangkrut dan sektor swastanya juga memiliki masalah besar utang, tingkat pengangguran yang tinggi, dan daya saing ekonomi yang rendah.
Bandingkan juga yield SUN Yunani dengan yield SUN Indonesia yang pada awal 2012 sempat mencapai 5,1% dan saat ini sekitar 6,7%. Sangat aneh bahwa Indonesia dengan beban utang rendah, sekitar 28% PDB, dan pertumbuhan mencapai 5% per tahun, dipersepsikan lebih berisiko daripada negara bangkrut seperti Yunani.
Anomali ketiga, negara dengan sejarah gagal bayar utang (bangkrut) berhasil menjual obligasi bertenor sangat panjang: 50-tahun dan 100-tahun.
Misalnya Argentina yang sudah delapan kali bangkrut dalam 200 tahun (bahkan sejak 1950 bangkrut enam kali, terakhir di 2014). Pada Juni 2017, Argentina berhasil menjual surat utang bertenor 100 tahun pada yield 7,9%. Padahal di tahun 2001 Argentina mengalami gagal bayar atas utang sebesar US$ 100 Miliar, yang saat itu merupakan gagal bayar terbesar dalam sejarah dunia.
Anomali keempat, indeks yield obligasi korporasi bermasalah (high-yield bond index) di Eropa (dikompilasi oleh Bank of America Merrill Lynch) mencapai titik terendah di 2,1% (Oktober 2017). Pada akhir 2007 indeks yield ini mencapai 9% dan kemudian mencapai titik tertinggi 26% pada December 2008.
Tetapi saat ini, yield tersebut bahkan lebih rendah dari yield US Treasury yang sekitar 2,4%. Artinya, utang perusahaan bermasalah di Eropa yang peluang bangkrutnya sangat tinggi dipersepsikan lebih aman daripada US Treasury yang dijamin oleh pemerintah Amerika.
Keempat anomali di atas mengindikasikan investor global obligasi sudah mengabaikan analisa fundamental dan kemampuan bayar entitas penerbit obligasi. Investor juga hanya mengejar momentum kenaikan harga obligasi, sehingga mengabaikan yield yang sudah sangat rendah (bahkan negatif).
Pada saat investor obligasi global sangat optimis, kemampuan ekonomi dunia memenuhi kewajiban utang semakin memburuk. Paska krisis finansial global 2008, beban utang di seluruh dunia terus meningkat. Institute for International Finance memperkiran total utang dunia pada akhir 2016 mencapai US$217 triliun, atau mencapai 325% dari PDB Dunia. Pada akhir 2007, rasio utang terhadap PDB ini berkisar 270%.
Akibatnya, setiap kenaikan suku bunga Bank Sentral dari ekonomi besar dunia, seperti Amerika, Eropa, dan Jepang, dapat menyebabkan kejatuhan harga obligasi (sebaliknya yield obligasi naik) sehingga menimbulkan kerugian besar bagi sektor keuangan global. Sejarah finansial global menunjukkan bahwa lonjakan yield US Treasury selalu diikuti oleh gejolak finansial seperti: krisis Meksiko 1994, krisis Asia 1997-1998, crash saham internet 2000-an, dan terakhir krisis global finansial 2008.
Implikasi bagi Indonesia
Saat ini beban utang pemerintah Indonesia dan swasta relatif rendah. Rejim nilai tukar bebas juga membatasi sikap spekulatif perusahaan swasta dalam menerbitkan obligasi berbasis valuta asing. Karena itu potensi Indonesia mengalami krisis sektor riil akibat gejolak bursa obligasi global relatif terbatas.
Namun kenaikan yield obligasi global dapat memicu arus modal keluar dari negara-negara emerging market yang mengandalkan investor asing untuk membeli SUN. Misalnya Indonesia yang saat ini sekitar 40% dari nilai SUN dimiliki oleh investor asing.
Akibatnya bursa finansial Indonesia dengan mudah mengalami gejolak seperti terjadi di tahun 2008, 2013, dan 2015. Pada tahun 2013 dan 2015, yield SUN Indonesia sempat melonjak ke 8,0% sampai 9,0%. Sedangkan kurs Rupiah terhadap US Dolar terdepresiasi antara 15-25%.
Potensi gejolak finansial ini harus dicermati oleh pemerintah dan pelaku sektor keuangan agar dapat mencegah kepanikan, meminimalkan potensi kerugian, dan tercetusnya krisis finansial. Khususnya pemerintah, kenaikan yield dan gejolak nilai tukar akan membatasi pembiayaan ekspansi defisit fiskal.
No comments:
Post a Comment